https://www.seminarisdmhokeng.sch.id/beritahttps://www.seminarisdmhokeng.sch.id/berita Berita

Berita

OPINI// Kasus Bunuh Diri di Kalangan Kaum Muda: Sebuah Refleksi Teologis dan Psikologis


 

https://i.imgur.com/UTlX3x3.jpeg

Kasus Bunuh Diri di Kalangan Kaum Muda: Sebuah Refleksi Teologis dan Psikologis

(Oleh: Yoseph Karol Wawo Kelen (Siswa SMAS Seminari San Dominggo Kelas XII)

 

 

Tidak hanya kasus kriminalitas yang terjadi di sekitar kita secara eksplisit dalam kalangan remaja, kasus bullying, pemerkosaan, dan demoralisasi kepribadian disaingi oleh fenomena bunuh diri yang telah tumbuh sejak saman Yesus Kristus dan Sokrates seorang filsuf yunani. Berdasarkan penelitian resmi WHO (World Health Organization)[1] mengungkapkan angka kematian di negara Indonesia pada tahun 2012 adalah 10.000 jiwa. Sejalan dengan angka tersebut, BPS (Badan Pusat Statistika) mencatat 812 kasus bunuh diri pada tahun 2015. Lebih lanjut BRIN (Badan Riset Dan Inovasi Nasional) dalam jangka waktu tahun 2013 hingga 2023 berjumlah 2.102 kasus bunuh diri[2], 985 kasus diantaranya terjadi dalam diri kaum muda. Pada tahun 2017 diungkapkan WHO dengan persentase 3,9% dari populasi korban 8.899 remaja[3]. Tentunya angka dan jumlah korban yang akurat ini menyatakan keprihatianan dan keperhatian orientasi kaum muda sebagai generalisasi identitas yang membudaya. Kaum muda merupakan garda depan realitas masa depan yang mendatang.

Bunuh Diri; Argumentasi Teologis Gereja Katolik

Menurut pandangan gereja katolik bunuh diri merupakan pengingkaan batiniah dan hasrat jiwa terhadap Allah sebagai Pencipta dan Penyumbang kehidupan. Problematika bunuh diri merupakan model atau bentuk tidak baku seorang manusia atas akuntabelitas kemanusiaannya. Bunuh diri sangatlah tidak etis dihadapan Allah karena otoritas penentuan mortalitas diputuskan oleh manusia sendiri bahwasanya manusia tidak merayakan atau megakui serta menghormati ke-Esaan eksistensi kekuasaan Allah dalam titik esensial pemilik kehidupan setelah berada di bumi.

            Paus Fransiskus, dalam hari orang miskin sedunia tahun 2023 memberi pernyataan bahwa meningkatnya angka kematian dari permasalahan bunuh diri yang ditindaki oleh kaum muda menunjukan kepada dunia bahwa kemiskinan spiritual sedang melanda kaum muda dengan kedalaman yang sangat jauh. Tidak hanya itu, budaya kita sekarang ini juga menjadi salah satu faktor prndorong atas diri mereka sendiri. Dalam suratnya, ia menulis bahwa bunuh diri dan frustasi yang drastis merupakan awal bertumbuhnya akar-akar ilusi kaum muda yang berpersepsi bahwa kehadiran mereka ke dunia tidak memberikan kontribusi dan partisipasi yang aktif.

            Oleh sebab itu, dalam suatu doktrin. Karol wotyla atau lebih gemar dikenal Paus Yohanes Paulus II menentang dan mengutuk keras tindakan atau segala bentuk maupun motif kekerasan yang dilakukan manusia dalam usaha apapun termasuk bunuh diri yang merupakan kekerasan atas diri sendiri. Maka itu, bunuh diri tidak diakui oleh gereja katolik karena legalitas kematiannya ditentukan oleh diri sendiri bukan melalui kehendak Allah.[4] Dapat diberikan asumsi bahwa manusia yang melakukan tindakan ini, keabadiannya tidak dapat dipastikan.

Fenomena Bunuh Diri Menurut Psikoanalisis Freud[5] dalam Kaitannya dengan relasi Kaum Muda

 

             Hubungan cinta yang begitu kuat dan mengikat seringakali menimbulkan chaos dalam hubungan tersebut, entah karena realitas percintaan sendiri yang tidak elok ataupun serangan, hambatan, dan tantangan eksternal maupun internal yang meluluh-lantahkan integritas cinta tersebut, lalu dari keruntuhan tersebut dampak bagi nyawa sendiri.

Teori psikoanalasis freud mengangap bahwasanya bunuh diri sebagai pembunuhan, sekaligus sebuah perluasan akan teorinya tentang depresi. Keinginan untuk bunuh diri timbul dalam diri seorang ketika kehilangan orang yang dicintainya sekalipun hak dan keharusan untuk memilikinya dalam suatu hubungan. Kehilangan ini awalnya menjadikan benih-benih depresi karena diberatkan oleh pengelaman-pengelaman dialogal yang rutin dan intensitas cinta yang pekat. Jika perasaan ini sangat kuat dan tidak ber-ultimatum maka orang yang bersangkutan segera melakukan tindakan atas pembunuhan dirinya sendiri tanpa melihat suatu orientasi yang matang untuk terlebih dahulu dipertimbangkan.

Didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180 degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang beresiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi.[6] Juga dalam suatu hubungan ditemukan subjek pada tunangannya yang merupakan orang yang dicintainya, sehingga ketika subjek putus dengan tunangannya iamerasa sedih dan kehilangan figur pelindung sekaligus orang yang dicintainya tersebut. Freud (dalam Husain, 2005) mengatakan bahwa kehilangan cinta, dapat menimbulkan dua hal yaitu, apabila perasaan yang ditarik oleh ego adalah perasaan cinta dan penghormatan maka cinta tersebut akan kembali pada ego,sehingga dia mencintai dirinya sendiri hal ini merupakan poros dari narsisme, namun kehilangan cinta seringkali menimbulkan perasaan benci dan permusuhan yang gagal mengaktualisasikan dirinya, perasaan ingin menghukum objek cinta yang telah hilang kemudian dibalikkan pada ego sendiri ini merupakan poros sadisme, dan juga poros dari masokhisme. Ini dikarenakan menyiksa diri sendiri adalah refleksi dari objek cinta yang kejam. Hal ini oleh Freud dijelaskan sebagai fase depresi dalam Mourning and Melancholia. (Freud,1917/1950. dalam Davidson, 2006) untuk menghilangkan frustrasi atau tegangan akibat kehilangan objek cinta, ego menggunakan mekanisme pertahanan berupa reaksi agresi (aggressive reaction) yaitu, menggunakan dorongan agresi untuk menyerang objek yang menimbulkan frustrasi, (Alwisol, 2009) namun kegagalan ego karena tidak dapat menemukan objek cinta yang telah hilang dan tidak menemukan[7]

            Berdasarkan teori psikoanalisis Freud ini dapat dijabarkan kasus bunuh diri oleh karena rasa kehilangan dan dibatasinya hak memiliki diantaranya seperti yang dialami oleh Wanita berinisial P (25) ditemukan tewas gantung diri di rumahnya di Perumahan Grand Mansion, Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu (14/8) malam. Polisi menduga korban bunuh diri karena persoalan asmara. "Iya dugaan sementara karena cinta segitiga antara korban dengan mantan pacar dan pacar barunya," kata Kapolsek Cengkareng Kompol Khoiri saat dihubungi detikcom, Kamis (15/8/2019). Dalam hubungan cinta segitiga, terdapat tiga individu yang saling terkait dalam dinamika yang rumit dan sering kali emosional. Perasaan Tidak Aman dan Kecemburuan Cinta segitiga sering kali mengakibatkan perasaan tidak aman dan kecemburuan yang intens. Individu yang merasa ditinggalkan atau tidak diinginkan dapat mengalami perasaan rendah diri dan keputusasaan. Rasa tertolak saat seseorang merasa ditolak atau dikhianati oleh pasangannya, hal ini bisa menimbulkan rasa sakit emosional yang mendalam. Perasaan tidak diinginkan atau tidak dicintai dapat memicu perasaan putus asa dan berakhir dengan bunuh diri.

Belis atau mahar adalah tradisi dalam beberapa budaya di Indonesia di mana keluarga pengantin pria memberikan sejumlah barang atau uang kepada keluarga pengantin wanita sebagai bentuk penghormatan dan kesepakatan pernikahan. Meskipun tradisi ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan keluarga, dalam beberapa kasus, beban finansial yang terkait dengan belis atau mahar bisa menjadi faktor yang mendorong individu ke arah keputusan tragis seperti bunuh diri seperti yang terjadi pada Minggu (12/1) pagi, detik-detik terkahir bagi Pratu AT berziarah di bumi indah ini. Ia pergi dengan segudang kisah, meninggalkan luka dan air mata bercucuran dari keluarga dan kerabatnya. Konon sebelum meninggal, Pratu AT sedang jatuh cinta dengan seorang nona. Karena terlalu besar cintanya, ia nekat ingin menikahi sang nona bernama Manja Mooy, namun belis terlalu tinggi merintangi keinginan sang prajurit menikahi sang pacar, hal ini menjadi beban ekonomi bagi Pratu AT dari pembebanan itu menjadikan dia melakukan pembunuhan atas dirnya sendiri.

Kehilangan seseorang yang penting dalam hidup dapat meninggalkan perasaan kesepian yang mendalam. Rasa kehilangan ini bisa menjadi beban emosional yang berat. Putus cinta bisa membuat seseorang meragukan nilai dirinya. Perasaan ditolak atau tidak dicintai dapat menurunkan harga diri dan menyebabkan perasaan tidak berharga. Reskrim Polres Manggarai Iptu Robbyanli Dewa Putra mengungkapkan penyebab tewasnya mahasiswi berinisial LJ yang ditemukan membusuk di kamar kosnya di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). LJ tewas karena bunuh diri setelah putus cinta dengan kekasihnya.



OPINI// Kasus Bunuh Diri di Kalangan Kaum Muda: Sebuah Refleksi Teologis dan Psikologis


 

https://i.imgur.com/UTlX3x3.jpeg

Kasus Bunuh Diri di Kalangan Kaum Muda: Sebuah Refleksi Teologis dan Psikologis

(Oleh: Yoseph Karol Wawo Kelen (Siswa SMAS Seminari San Dominggo Kelas XII)

 

 

Tidak hanya kasus kriminalitas yang terjadi di sekitar kita secara eksplisit dalam kalangan remaja, kasus bullying, pemerkosaan, dan demoralisasi kepribadian disaingi oleh fenomena bunuh diri yang telah tumbuh sejak saman Yesus Kristus dan Sokrates seorang filsuf yunani. Berdasarkan penelitian resmi WHO (World Health Organization)[1] mengungkapkan angka kematian di negara Indonesia pada tahun 2012 adalah 10.000 jiwa. Sejalan dengan angka tersebut, BPS (Badan Pusat Statistika) mencatat 812 kasus bunuh diri pada tahun 2015. Lebih lanjut BRIN (Badan Riset Dan Inovasi Nasional) dalam jangka waktu tahun 2013 hingga 2023 berjumlah 2.102 kasus bunuh diri[2], 985 kasus diantaranya terjadi dalam diri kaum muda. Pada tahun 2017 diungkapkan WHO dengan persentase 3,9% dari populasi korban 8.899 remaja[3]. Tentunya angka dan jumlah korban yang akurat ini menyatakan keprihatianan dan keperhatian orientasi kaum muda sebagai generalisasi identitas yang membudaya. Kaum muda merupakan garda depan realitas masa depan yang mendatang.

Bunuh Diri; Argumentasi Teologis Gereja Katolik

Menurut pandangan gereja katolik bunuh diri merupakan pengingkaan batiniah dan hasrat jiwa terhadap Allah sebagai Pencipta dan Penyumbang kehidupan. Problematika bunuh diri merupakan model atau bentuk tidak baku seorang manusia atas akuntabelitas kemanusiaannya. Bunuh diri sangatlah tidak etis dihadapan Allah karena otoritas penentuan mortalitas diputuskan oleh manusia sendiri bahwasanya manusia tidak merayakan atau megakui serta menghormati ke-Esaan eksistensi kekuasaan Allah dalam titik esensial pemilik kehidupan setelah berada di bumi.

            Paus Fransiskus, dalam hari orang miskin sedunia tahun 2023 memberi pernyataan bahwa meningkatnya angka kematian dari permasalahan bunuh diri yang ditindaki oleh kaum muda menunjukan kepada dunia bahwa kemiskinan spiritual sedang melanda kaum muda dengan kedalaman yang sangat jauh. Tidak hanya itu, budaya kita sekarang ini juga menjadi salah satu faktor prndorong atas diri mereka sendiri. Dalam suratnya, ia menulis bahwa bunuh diri dan frustasi yang drastis merupakan awal bertumbuhnya akar-akar ilusi kaum muda yang berpersepsi bahwa kehadiran mereka ke dunia tidak memberikan kontribusi dan partisipasi yang aktif.

            Oleh sebab itu, dalam suatu doktrin. Karol wotyla atau lebih gemar dikenal Paus Yohanes Paulus II menentang dan mengutuk keras tindakan atau segala bentuk maupun motif kekerasan yang dilakukan manusia dalam usaha apapun termasuk bunuh diri yang merupakan kekerasan atas diri sendiri. Maka itu, bunuh diri tidak diakui oleh gereja katolik karena legalitas kematiannya ditentukan oleh diri sendiri bukan melalui kehendak Allah.[4] Dapat diberikan asumsi bahwa manusia yang melakukan tindakan ini, keabadiannya tidak dapat dipastikan.

Fenomena Bunuh Diri Menurut Psikoanalisis Freud[5] dalam Kaitannya dengan relasi Kaum Muda

 

             Hubungan cinta yang begitu kuat dan mengikat seringakali menimbulkan chaos dalam hubungan tersebut, entah karena realitas percintaan sendiri yang tidak elok ataupun serangan, hambatan, dan tantangan eksternal maupun internal yang meluluh-lantahkan integritas cinta tersebut, lalu dari keruntuhan tersebut dampak bagi nyawa sendiri.

Teori psikoanalasis freud mengangap bahwasanya bunuh diri sebagai pembunuhan, sekaligus sebuah perluasan akan teorinya tentang depresi. Keinginan untuk bunuh diri timbul dalam diri seorang ketika kehilangan orang yang dicintainya sekalipun hak dan keharusan untuk memilikinya dalam suatu hubungan. Kehilangan ini awalnya menjadikan benih-benih depresi karena diberatkan oleh pengelaman-pengelaman dialogal yang rutin dan intensitas cinta yang pekat. Jika perasaan ini sangat kuat dan tidak ber-ultimatum maka orang yang bersangkutan segera melakukan tindakan atas pembunuhan dirinya sendiri tanpa melihat suatu orientasi yang matang untuk terlebih dahulu dipertimbangkan.

Didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180 degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang beresiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi.[6] Juga dalam suatu hubungan ditemukan subjek pada tunangannya yang merupakan orang yang dicintainya, sehingga ketika subjek putus dengan tunangannya iamerasa sedih dan kehilangan figur pelindung sekaligus orang yang dicintainya tersebut. Freud (dalam Husain, 2005) mengatakan bahwa kehilangan cinta, dapat menimbulkan dua hal yaitu, apabila perasaan yang ditarik oleh ego adalah perasaan cinta dan penghormatan maka cinta tersebut akan kembali pada ego,sehingga dia mencintai dirinya sendiri hal ini merupakan poros dari narsisme, namun kehilangan cinta seringkali menimbulkan perasaan benci dan permusuhan yang gagal mengaktualisasikan dirinya, perasaan ingin menghukum objek cinta yang telah hilang kemudian dibalikkan pada ego sendiri ini merupakan poros sadisme, dan juga poros dari masokhisme. Ini dikarenakan menyiksa diri sendiri adalah refleksi dari objek cinta yang kejam. Hal ini oleh Freud dijelaskan sebagai fase depresi dalam Mourning and Melancholia. (Freud,1917/1950. dalam Davidson, 2006) untuk menghilangkan frustrasi atau tegangan akibat kehilangan objek cinta, ego menggunakan mekanisme pertahanan berupa reaksi agresi (aggressive reaction) yaitu, menggunakan dorongan agresi untuk menyerang objek yang menimbulkan frustrasi, (Alwisol, 2009) namun kegagalan ego karena tidak dapat menemukan objek cinta yang telah hilang dan tidak menemukan[7]

            Berdasarkan teori psikoanalisis Freud ini dapat dijabarkan kasus bunuh diri oleh karena rasa kehilangan dan dibatasinya hak memiliki diantaranya seperti yang dialami oleh Wanita berinisial P (25) ditemukan tewas gantung diri di rumahnya di Perumahan Grand Mansion, Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu (14/8) malam. Polisi menduga korban bunuh diri karena persoalan asmara. "Iya dugaan sementara karena cinta segitiga antara korban dengan mantan pacar dan pacar barunya," kata Kapolsek Cengkareng Kompol Khoiri saat dihubungi detikcom, Kamis (15/8/2019). Dalam hubungan cinta segitiga, terdapat tiga individu yang saling terkait dalam dinamika yang rumit dan sering kali emosional. Perasaan Tidak Aman dan Kecemburuan Cinta segitiga sering kali mengakibatkan perasaan tidak aman dan kecemburuan yang intens. Individu yang merasa ditinggalkan atau tidak diinginkan dapat mengalami perasaan rendah diri dan keputusasaan. Rasa tertolak saat seseorang merasa ditolak atau dikhianati oleh pasangannya, hal ini bisa menimbulkan rasa sakit emosional yang mendalam. Perasaan tidak diinginkan atau tidak dicintai dapat memicu perasaan putus asa dan berakhir dengan bunuh diri.

Belis atau mahar adalah tradisi dalam beberapa budaya di Indonesia di mana keluarga pengantin pria memberikan sejumlah barang atau uang kepada keluarga pengantin wanita sebagai bentuk penghormatan dan kesepakatan pernikahan. Meskipun tradisi ini dimaksudkan untuk mempererat hubungan keluarga, dalam beberapa kasus, beban finansial yang terkait dengan belis atau mahar bisa menjadi faktor yang mendorong individu ke arah keputusan tragis seperti bunuh diri seperti yang terjadi pada Minggu (12/1) pagi, detik-detik terkahir bagi Pratu AT berziarah di bumi indah ini. Ia pergi dengan segudang kisah, meninggalkan luka dan air mata bercucuran dari keluarga dan kerabatnya. Konon sebelum meninggal, Pratu AT sedang jatuh cinta dengan seorang nona. Karena terlalu besar cintanya, ia nekat ingin menikahi sang nona bernama Manja Mooy, namun belis terlalu tinggi merintangi keinginan sang prajurit menikahi sang pacar, hal ini menjadi beban ekonomi bagi Pratu AT dari pembebanan itu menjadikan dia melakukan pembunuhan atas dirnya sendiri.

Kehilangan seseorang yang penting dalam hidup dapat meninggalkan perasaan kesepian yang mendalam. Rasa kehilangan ini bisa menjadi beban emosional yang berat. Putus cinta bisa membuat seseorang meragukan nilai dirinya. Perasaan ditolak atau tidak dicintai dapat menurunkan harga diri dan menyebabkan perasaan tidak berharga. Reskrim Polres Manggarai Iptu Robbyanli Dewa Putra mengungkapkan penyebab tewasnya mahasiswi berinisial LJ yang ditemukan membusuk di kamar kosnya di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). LJ tewas karena bunuh diri setelah putus cinta dengan kekasihnya.