https://www.seminarisdmhokeng.sch.id/beritahttps://www.seminarisdmhokeng.sch.id/berita
“Sesuai jadwal yang
diberikan oleh P. G. Kramer, saya pergi ke Lewoleba untuk ikut testing masuk
Seminari Hokeng. Pada waktu itu ada tiga siswa dari sekolahku yang ikut testing
di Lewoleba. Beberapa hari kemudian kami dapat hasil testing. Ternyata dari SMP
saya, hanya saya sendiri yang lulus. Karena tidak ada teman sekolah maka saya
mulai ragu untuk ke Seminari Hokeng. Tapi akhirnya saya pergi juga. Sesuai
jadwal masuk Seminari Hokeng maka saya pun bertolak ke sana. Dari rumah nenek
di Waiwerang, saya dihantar oleh om Kobus (tukang gerobak) ke dermaga
Waiwerang. Tidak ada anggota keluarga yang hantar saya. Untuk pertama kalinya
saya jalan jauh. Dengan oto “Ivoni” saya berangkat dari Larantuka ke Hokeng.
Lama perjalanan hampir setengah hari. Soalnya pada waktu itu jalan masih cukup
buruk.”
Demikian kenang RD Yosep Dominikus kala awal berjuang masuk
Seminari San Dominggo (Sesado) Hokeng. RD Yosep Dominikus yang akrab disapa
Romo Yosdo merayakan perak imamatnya.
RD Yosdo yang lahir
di Tawau (Sabah-Malaysia) 20 Juni 1967 memiliki lika-liku perjalanan menuju
imamat. Keraguan, kecemasan, ketakutan, ketakpastian selalu menghiasi
perjalanannya. Namun, di ujung keraguan, kecemasan, ketakutan, ketakpastian
selalu bersemi kepastian yang menguatkannya untuk terus berlangkah.
“Selesai masa
praktek di Sesado Hokeng, Bapak Uskup Mgr. Darius Nggawa SVD mengisinkan saya
untuk kembali ke Ritapiret melanjutkan masa pembinaan untuk menjadi imam. Namun
saya sempat kehilangan panggilan lantaran saudara sepupuku Kornelis Liku Duli
Gahin meninggal dunia di tanah rantau Kalimantan akibat kecelakaan. Dia adalah
orang yang mendukung panggilanku dan yang akan menyiapkan panitia penahbisanku
sekiranya saya menjadi imam. Ternyata beliau meninggal lebih dahulu. Saya tidak
tahu siapa yang akan menggantikan posisi beliau untuk mengurus panitia
penanhbisanku. Dalam keadaan sedih dan bingung saya menyurati mantan pastor
paroki P. Herman Sina, SVD yang sedang studi di Filipina. Saya menyampaikan
maksudku untuk menarik diri sebagai calon imam karena kematian saudara sepupuku
itu. P. Herman Sina, SVD membalas suratku dengan menulis: ‘Nelis menyiapkan
panitia penahbisanmu di surga, dan saya akan menyiapkan panitia penahbisanmu di
dunia kalau engkau jadi imam.’ Saya tersentuh dengan jawaban pater ini sehingga
semangat panggilanku untuk menjadi imam muncul kembali. Akhirnya, saya tidak
jadi menarik diri,” kenang RD Yosdo.
RD Yosdo ditahbiskan
di Waiwerang, 16 September 1997 oleh Mgr. Darius Nggawa SVD. Hampir seluruh
karya pastoralnya dijalankan di Sesado. Tahun 1997 – 2000, Yubilaris menjadi
pembina dan pengajar di Seminari Menengah San Dominggo Hokeng.
Tahun 2000 – 2003
menjadi Pastor Rekan di Paroki St. Josef – Keuskupan Agung Wina, Austria. Dan,
tahun 2004 hingga sekarang kembali menjadi pembina dan pengajar di Seminari
Menengah San Dominggo Hokeng.
“Terlena dalam
pelayanan imamat tak terasa saya sudah hidup selama 25 tahun sebagai imam. Sebagian
besar hidup imamatku saya abdikan untuk alma mater Seminari San Dominggo
Hokeng. Setiap hari bergaul dengan anak-anak seminari sehingga penampilan
lahiriahku pun “masih seperti anak-anak”. Canda tawa, baku olok, marah, baku
bully, teror-meneror sudah biasa terjadi di antara kami baik di asrama maupun
di sekolah. Tapi semuanya itu menyenangkan meskipun terkadang ada rasa sakit
hati sedikit kalau mereka punya nilai di sekolah sangat jelek. Saya begitu
mencintai Seminari Hokeng sampai-sampai saya sulit “move on” dari tempat ini.
Dalam masa liburan pun saya jarang ke kampung sehingga ada teman imam yang
katakan bahwa saya sebagai “penjaga seminari” atau “ikon seminari”. Mungkin
juga nantinya sebagai penjaga kubur Sesado,” kenang RD Yosdo yang pernah mengenyam
pendidikan awalnya di Holy Trinity Primary School, Tawau/Sabah sekitar tahun
1974.
Bagi RD Yosdo yang
pernah mengikuti kursus Bahasa Jerman di Internationales Kulturinstitur (IKI)
Wina – Austria (2000 – 2003) dan kursus Bahasa Latin di Yogyakarta (Juli 2018),
Tuhan telah memberikan tempat yang cocok baginya untuk hidup dan berkarya di
Sesado dengan segala suka dukanya. “Saya merasakan bahwa Tuhan memberikan
tempat yang cocok untuk saya hidup dan berkarya di Seminari Hokeng. Ketika
masih sebagai imam muda saya banyak belajar teladan hidup imamat dari para
pastor senior mantan pembinaku dulu. Saya mencintai pekerjaanku sehingga
menjalaninya dengan senang hati. Karena kerja dengan sukacita sehingga saya
tidak pernah dapat penyakit berat. Saya tidak perlu kuatir akan makanan dan
minuman, pakaian dan tempat tinggal karena Tuhan sudah menyiapkan itu lewat
orang-orang baik di sini. Saya juga tidak perlu kuatir kalau banyak anak
seminari yang tidak jadi imam. Yang penting mereka jadi orang baik dan berguna
bagi Gereja dan masyarakat/negara (pro ecclesia et patria). Bagi mereka yang
jadi imam, itu luar biasa karena mereka yang nantinya akan menggantikan posisi
kami di saat kami sudah tua, tak berguna dan mati. Selama hidup sebagai imam
dan bekerja untuk kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesama, maka saya tidak perlu
kuatir akan hidupku selanjutnya. Saya percaya Tuhan tidak akan membiarkan saya
hidup merana karena mengalami banyak kekurangan. Tuhan akan menutupi semua
kekurangan itu pada waktunya,” tulis RD Yosdo.
Dari seluruh narasi
perjalanan imamatnya, RD Yosdo selalu percaya akan kata-kata Yesus, “Janganlah
kuatir akan hidupmu, …” (Mat 6, 25). Kata-kata Sang Gembala Agung inilah yang
beliau pilih sebagai moto syukur perak imamatnya.
Tags: imamatperjalananRomo Yosdo
“Sesuai jadwal yang
diberikan oleh P. G. Kramer, saya pergi ke Lewoleba untuk ikut testing masuk
Seminari Hokeng. Pada waktu itu ada tiga siswa dari sekolahku yang ikut testing
di Lewoleba. Beberapa hari kemudian kami dapat hasil testing. Ternyata dari SMP
saya, hanya saya sendiri yang lulus. Karena tidak ada teman sekolah maka saya
mulai ragu untuk ke Seminari Hokeng. Tapi akhirnya saya pergi juga. Sesuai
jadwal masuk Seminari Hokeng maka saya pun bertolak ke sana. Dari rumah nenek
di Waiwerang, saya dihantar oleh om Kobus (tukang gerobak) ke dermaga
Waiwerang. Tidak ada anggota keluarga yang hantar saya. Untuk pertama kalinya
saya jalan jauh. Dengan oto “Ivoni” saya berangkat dari Larantuka ke Hokeng.
Lama perjalanan hampir setengah hari. Soalnya pada waktu itu jalan masih cukup
buruk.”
Demikian kenang RD Yosep Dominikus kala awal berjuang masuk
Seminari San Dominggo (Sesado) Hokeng. RD Yosep Dominikus yang akrab disapa
Romo Yosdo merayakan perak imamatnya.
RD Yosdo yang lahir
di Tawau (Sabah-Malaysia) 20 Juni 1967 memiliki lika-liku perjalanan menuju
imamat. Keraguan, kecemasan, ketakutan, ketakpastian selalu menghiasi
perjalanannya. Namun, di ujung keraguan, kecemasan, ketakutan, ketakpastian
selalu bersemi kepastian yang menguatkannya untuk terus berlangkah.
“Selesai masa
praktek di Sesado Hokeng, Bapak Uskup Mgr. Darius Nggawa SVD mengisinkan saya
untuk kembali ke Ritapiret melanjutkan masa pembinaan untuk menjadi imam. Namun
saya sempat kehilangan panggilan lantaran saudara sepupuku Kornelis Liku Duli
Gahin meninggal dunia di tanah rantau Kalimantan akibat kecelakaan. Dia adalah
orang yang mendukung panggilanku dan yang akan menyiapkan panitia penahbisanku
sekiranya saya menjadi imam. Ternyata beliau meninggal lebih dahulu. Saya tidak
tahu siapa yang akan menggantikan posisi beliau untuk mengurus panitia
penanhbisanku. Dalam keadaan sedih dan bingung saya menyurati mantan pastor
paroki P. Herman Sina, SVD yang sedang studi di Filipina. Saya menyampaikan
maksudku untuk menarik diri sebagai calon imam karena kematian saudara sepupuku
itu. P. Herman Sina, SVD membalas suratku dengan menulis: ‘Nelis menyiapkan
panitia penahbisanmu di surga, dan saya akan menyiapkan panitia penahbisanmu di
dunia kalau engkau jadi imam.’ Saya tersentuh dengan jawaban pater ini sehingga
semangat panggilanku untuk menjadi imam muncul kembali. Akhirnya, saya tidak
jadi menarik diri,” kenang RD Yosdo.
RD Yosdo ditahbiskan
di Waiwerang, 16 September 1997 oleh Mgr. Darius Nggawa SVD. Hampir seluruh
karya pastoralnya dijalankan di Sesado. Tahun 1997 – 2000, Yubilaris menjadi
pembina dan pengajar di Seminari Menengah San Dominggo Hokeng.
Tahun 2000 – 2003
menjadi Pastor Rekan di Paroki St. Josef – Keuskupan Agung Wina, Austria. Dan,
tahun 2004 hingga sekarang kembali menjadi pembina dan pengajar di Seminari
Menengah San Dominggo Hokeng.
“Terlena dalam
pelayanan imamat tak terasa saya sudah hidup selama 25 tahun sebagai imam. Sebagian
besar hidup imamatku saya abdikan untuk alma mater Seminari San Dominggo
Hokeng. Setiap hari bergaul dengan anak-anak seminari sehingga penampilan
lahiriahku pun “masih seperti anak-anak”. Canda tawa, baku olok, marah, baku
bully, teror-meneror sudah biasa terjadi di antara kami baik di asrama maupun
di sekolah. Tapi semuanya itu menyenangkan meskipun terkadang ada rasa sakit
hati sedikit kalau mereka punya nilai di sekolah sangat jelek. Saya begitu
mencintai Seminari Hokeng sampai-sampai saya sulit “move on” dari tempat ini.
Dalam masa liburan pun saya jarang ke kampung sehingga ada teman imam yang
katakan bahwa saya sebagai “penjaga seminari” atau “ikon seminari”. Mungkin
juga nantinya sebagai penjaga kubur Sesado,” kenang RD Yosdo yang pernah mengenyam
pendidikan awalnya di Holy Trinity Primary School, Tawau/Sabah sekitar tahun
1974.
Bagi RD Yosdo yang
pernah mengikuti kursus Bahasa Jerman di Internationales Kulturinstitur (IKI)
Wina – Austria (2000 – 2003) dan kursus Bahasa Latin di Yogyakarta (Juli 2018),
Tuhan telah memberikan tempat yang cocok baginya untuk hidup dan berkarya di
Sesado dengan segala suka dukanya. “Saya merasakan bahwa Tuhan memberikan
tempat yang cocok untuk saya hidup dan berkarya di Seminari Hokeng. Ketika
masih sebagai imam muda saya banyak belajar teladan hidup imamat dari para
pastor senior mantan pembinaku dulu. Saya mencintai pekerjaanku sehingga
menjalaninya dengan senang hati. Karena kerja dengan sukacita sehingga saya
tidak pernah dapat penyakit berat. Saya tidak perlu kuatir akan makanan dan
minuman, pakaian dan tempat tinggal karena Tuhan sudah menyiapkan itu lewat
orang-orang baik di sini. Saya juga tidak perlu kuatir kalau banyak anak
seminari yang tidak jadi imam. Yang penting mereka jadi orang baik dan berguna
bagi Gereja dan masyarakat/negara (pro ecclesia et patria). Bagi mereka yang
jadi imam, itu luar biasa karena mereka yang nantinya akan menggantikan posisi
kami di saat kami sudah tua, tak berguna dan mati. Selama hidup sebagai imam
dan bekerja untuk kemuliaan Tuhan dan kebaikan sesama, maka saya tidak perlu
kuatir akan hidupku selanjutnya. Saya percaya Tuhan tidak akan membiarkan saya
hidup merana karena mengalami banyak kekurangan. Tuhan akan menutupi semua
kekurangan itu pada waktunya,” tulis RD Yosdo.
Dari seluruh narasi
perjalanan imamatnya, RD Yosdo selalu percaya akan kata-kata Yesus, “Janganlah
kuatir akan hidupmu, …” (Mat 6, 25). Kata-kata Sang Gembala Agung inilah yang
beliau pilih sebagai moto syukur perak imamatnya.
Tags: imamatperjalananRomo Yosdo